Refleksi Surat Al-Jumu’ah (1-2)

Ini adalah satu dari banyak kuliah Ustad Nouman Ali Khan yang membuat saya terus berefleksi.

Di awal kuliahnya Ustad Nouman me-recite surah Al-Baqarah ayat 185 yang menyebutkan tentang bulan Ramadhan:

 “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)…” [al-Baqarah/2: 185]

Bagaimana Allah Swt menggambarkan bulan Ramadhan dengan mengaitkannya dengan peristiwa turunnya Al-Qur’an mengindikasikan bagaimana seharusnya kita mengisi waktu di bulan ini: mendekatkan diri dengan Al-Qur’an, memahaminya, bukan sekedar membaca tanpa tahu maknanya. “ibadah puasa disebutkan Allah Swt di ayat lain, sementara pelajaran mengenai Al-Qur’an Allah khususkan pada ayat mengenai Ramadhan” Kata ustad Nouman.

Saya tidak akan menjelaskan seluruh isi kuliahnya, namun saya akan menggarisbawahi tiga poin penting yang coba Ustad Nouman bagikan kepada audiens yang hadir. Poin pertama mengenai pentingnya kita membangun hubungan dengan Al-Qur’an, telah saya singgung di atas. Ustad Nouman selalu menekankan hal ini, beliau pun secara pribadi memiliki misi untuk mengajak orang belajar memahami pesan Al-Qur’an melalui Al-Bayyinah Institute yang didirikannya. “Hanya di dalam Islam, ada kitab suci yang membuat seseorang dapat merasakan pengalaman berinteraksi langsung bersama Tuhan” kata beliau menyinggung keutamaan Al-Qur’an.

Poin kedua dari kuliah beliau menyoal Qur’an surah Jumuah yang beberapa kali beliau bahas kesempatan yang berbeda.

Beliau mengkaji tentang empat sifat Allah Swt di ayat pertama surat ini dan keserasiannya dengan keseluruhan ayat yang ada :

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jumu’ah: 1)

Kandungan lain yang beliau garis bawahi adalah pada ayat kedua. Ini yang menjadi poin ketiga dan sangat penting untuk menjadi bahan muhasabah kita. “Ayat kedua ini berbicara tentang bagaimana langkah Rasulullah Saw dalam mewujudkan misi kenabian beliau. “Sejatinya langkah-langkah ini juga patut kita ikuti mengingat peran kita sebagai penerus dakwah Rasul” Pesan Ustad Nouman. Ayat tersebut adalah:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Al-Jumuah: 2)

Dalam ayat ini terkandung empat hal penting:

Pertama, Rasulullah Saw diutus dari kaumnya sendiri. Kaum yang jauh dari kemajuan peradaban, gersang, bahkan tak menarik minat bangsa lain untuk menaklukannya. Allah Swt memilih HambaNya yang tak bisa membaca (ummiy) di tengah masyarakat yang kurang lebih sama buta huruf. Namun hal ini kemudian menjadi bantahan bagi orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu ditulis oleh Muhammad saw. Ini juga menjadi hikmah bahwa jika Allah Swt berkehendak, Dia dapat memilih siapa saja dari hambaNya, memberikannya pengetahuan meski dari ujung dunia yang tak tersentuh pendidikan.

Kedua, “yang membacakan ayat-ayat mereka”. Kata yatlu diartikan sebagai membaca yang sambil lalu (bagaikan kita membaca Koran). Kita sering mendengar kata tilawah. Kata ini bermakna sekedar membaca Al-Qur’an. Begitupun tugas Rasul, membacakan ayat disini bermakna menyampaikan ayat/pesan dari Allah Swt kepada manusia, sementara penerimaan mereka terhadap dakwah tersebut bergantung pada hidayah Allah. Di sinilah mengapa kita tidak boleh menghakimi orang yang belum menjalankan tuntunan agama dengan baik. Mereka sedang berproses seperti halnya diri kita dahulu. Bisa jadi esok mereka menjadi da’i ilallah yang kontribusinya pada agama lebih besar dari kita hari ini. Karenanya tugas kita hanyalah menyampaikan dengan lembut, penuh rahmat, tanpa mencaci atau bahkan memandang sebelah mata.

Ketiga, “mensucikan mereka”. Di dalam Islam, intelektual dan hati kita disucikan melalui Al-Qur’an. Kita dijauhkan dari keyakinan-keyakinan salah, juga dibersihkan dari keraguan, rasa gelisah, dan penyakit hati lainnya. Inilah langkah lain Rasulullah kepada ummatnya, mensucikan hati dan pikiran kita. Hal ini berbeda dengan ajaran keyakinan lain, misalnya Yahudi yang hanya mementingkan aspek intelektual saja dan mengabaikan penyucian jiwa.

Keeempat adalah “mengajarkan Kitab dan Hikmah”. Mengajarkan kitab juga bermakna mengajarkan dan menerapkan hukum Allah, karena kitab juga dapat diartikan sebagai syariat. Sementara Hikmah meski dimaknai sebagai Sunnah pada ayat ini, juga bermakna Wisdom/kebijaksanaan, atau common sense. Sehingga dengan ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa kita perlu bijaksana dalam mengajarkan hukum Allah. Hari ini banyak muslim yang bersikap keras dalam mengajak orang ke jalan Allah. Sehingga bukannya mendekat, orang tersebut malah semakin jauh dari agama. Padahal, Al-Qur’an diturunkan sebagai harapan bagi seluruh manusia. Sayangnya, malah kaum muslim sendiri yang kehilangan harapan tersebut. Ini menjadi catatan penting bagi setiap diri kita.

Terakhir, “Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. Apakah ada yang lebih sesat dari kaum Quraisy dahulu kala? Banyaknya praktek kriminal yang bahkan tidak ditolerir oleh akal, belum lagi daerah mereka yang jauh dari peradaban, membuat mereka benar-benar dalam kegelapan. Tapi, lihat bagaimana Allah mengangkat masyarakat tersebut menjadi ummat terbaik, bahkan para sahabat adalah golongan terbaik di dunia dan di akhirat. Ini menjadi pesan bagi kita, bahwa jika dakwah ini memang telah sampai (dengan kita meneladani cara Rasulullah Saw) maka tak mustahil bagi Allah Swt menurunkan hidayah kepada suatu kaum dan mengangkat derajatnya. Apa lagi pada orang per orang. Maka jangan pernah putus asa untuk menyampaikan ayat-ayat Allah (tidak dengan memaksa orang untuk mengikuti kita). Sekali kita melakukan peran kita untuk menyampaikan, maka Allah swt setelah itu yang akan melakukan “tugas” Nya. Ingat pula bahwa menyampaikan itu tidak hanya secara lisan, tapi juga dengan perbuatan, dengan akhlak. Begitu banyak orang yang tersentuh hatinya dengan kelembutan akhlak. Oleh sebab itu, muslim berhentilah mencaci, menyindir, berkata kasar, dan mengisolasi dirinya. Rangkul orang lain dengan penerimaan dan akhlak yang baik, InshaAllah orang tsb akan melembut hatinya dan dekat kepada agama.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar